Kerajaan Melayu adalah kerajaan Asia Tenggara klasik. Satu teori adalah bahwa kerajaan itu didirikan di sekitar Jambi saat ini di Sumatra, Indonesia, sekitar 300 km utara Palembang. Menurut teori ini, ia didirikan oleh kelompok etnis di wilayah sungai Batanghari dan pedagang emas dari pedalaman Minangkabau. Berikut ini akan dijelaskan mengenai sejarah kehidupan politik kerajaan Melayu.
Letak Kerajaan Melayu
Teori ini diperdebatkan karena lokasi geografis Jambi bertentangan dengan deskripsi oleh Yijing, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa kerajaan itu terletak setengah jalan antara Ka-Cha (Kedah) dan Bogha (Palembang) “.
Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi (Thai:Sovannophum) yang oleh para pendatang disebut sebagai pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum akhirnya terintegrasi dengan Kerajaan Sriwijaya (Thai:Sevichai) pada tahun 682.
Keberadaan kerajaan yang mengalami naik turun ini dapat di diketahui dimulai pada abad ke-7 yang berpusat di Minanga, pada abad ke-13 yang berpusat di Dharmasraya dan diawal abad ke 15 berpusat di Suruaso atau Pagaruyung.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Melayu
Dikutip dari Wikiwand, Penemuan artifak seperti tulang, batu dan sisa makanan penghuni di gua di rantau Asia Tenggara termasuk di Malaysia menunjukkan adanya sebaran kebudayaan pada zaman prasejarah. Menurut Yijing, Melayu yang awal ialah sebuah kerajaan bebas.
Pada lewat abad ke-7, sami Yijing merakamkan bahawa pada kali kedua beliau pulang semula ke Ma-La-Yu pada tahun 685 M, ia telah ditawan oleh Srivijaya dan sebelumnya dalam tahun 671, beliau menyebut Malayu masih sebuah kerajaan bebas. Tambahan lagi, Melayu telah meluaskan pengaruh pada kawasan-kawasan mengeluarkan emas di daerah pendalaman Sumatra.
Perkembangan ini secara perlahan menambahkan martabat Melayu yang berdagang pelbagai barangan tempatan, termasuk emas, dengan para pedagang asing. Kebangkitan kembali Melayu dapat dilihat pada Patung Grahi.
Pada tahun 1183 M di Thailand selatan, disebutkan perintah daripada Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada penguasa Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai dan pembuat patung bernama Mraten Sri Nano supaya membuat patung Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Ketika itu, Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa merupakan Raja Melayu di Dharmasraya.
Perkataan bhumi malayu juga telah dipahatkan dalam tahun 1286 pada sebuah patung Padang Roco di hulu sungai Batanghari (termasuk kawasan negeri Dharmasraya sekarang). Sebelumnya, dalam Pararaton juga telah disebutkan Pamalayu yaitu suatu ekspedisi “menaklukan melayu” yang terjadi pada tahun 1275 M. Menurut Ensiklopedia Malaysia, tulisan India silam dalam Ramayana dan Vayu Purana (abad ke-3 SM), perkataan bahasa Sanskrit ‘Malayadvipa’ (secara harfiah ‘Pulau Melayu’) telah disebutkan yang mana ia merujuk kepada Sumatra.
Kehidupan Politik Kerajaan Melayu
Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan Hyang). Oleh karena Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu adalah ekspedisi militer menaklukkan suatu daerah. Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data-data:
- Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682).
- Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa lebih dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang.
Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 682. Pendapat ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju India tahun 671, Ma-la-yu masih menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.
Pelabuhan Malayu merupakan penguasa lalu lintas Selat Malaka saat itu. Dengan direbutnya Minanga, secara otomatis pelabuhanpun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 682 penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka digantikan oleh kerajaan Melayu Sriwijaya
Kekalahan Kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.
Prasasti Kerajaan Melayu
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.
Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di kota Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton disebut dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun Prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.
Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, dari catatan Cina [9] disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dariChen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts’i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Pelopor atau Pendiri Kerajaan Melayu
Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.
Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang.
Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan antara Singhasari dengan Dharmasraya.
Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Untuk memperkuat persahabatan antara Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singhasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Ia kemudian melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun ada kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.
Sebagian sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat sebagaiRakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.
Adityawarman sendiri nantinya menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini untuk menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja.