Jelaskan persoalan negara federal dan bfo

Jelaskan persoalan negara federal dan bfo ? Latar belakang persoalan negara federal dan konferensi pembentkan Badan Permusyawaratan Federal (BFO) pada 27 Mei 1948 dilatarbelakangi oleh sikap Belanda yang tidak mau mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia, meskipun dalam hal ini Indonesia telah menyatakan merdeka melalui Proklamasi 1945.

Kedatangan Belanda pasca proklamasi membuat haluan politik Indonesia berubah. Jika awalnya Indonesia menyakan sebagai negara kesatuan, maka dengan ancaman kedatangan belanda Soekarno mengubah bentuk negara kesatuan menjadi federal yang dipimpin oleh Sjahrir. Alasannya, van Mook yang merupakan pimpinan tidak mau berunding dengan Soekarno. Perubahan bentuk negara ini hanya bersifat politis.

Konsep Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/ Bijeenkomst voor Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi negara kesatuan.

Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi.

Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan negara federal ini (1947).

Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak kerja sama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara Pasundan).

Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok ini ingin agar garis kebijakan bekerja sama dengan Belanda tetap dipertahankan BFO. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II-nya, pertentangan antara dua kubu ini kian sengit. Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung dengan Sultan Hamid II. Di kemudian hari, Sultan Hamid II ternyata bekerja sama dengan APRA Westerling mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS.

Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang militer, pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL.

TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerja sama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya anggota TNI ke negara bagian (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012.). Kasus APRA Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz sebagaimana telah dibahas sebelumnya adalah cermin dari pertentangan ini.

Namun selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan, pergolakan bernuansa positif bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini terlihat ketika negara-negara bagian yang keberadaannya ingin dipertahankan setelah KMB, harus berhadapan dengan tuntutan rakyat yang ingin agar negaranegara bagian tersebut bergabung ke RI.